ASPEK DALAM HUKUM EKONOMI
NAMA : INDINA TARZIAH
KELAS :2EB24
NPM :23212683
HUKUM
PERJANJIAN
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Istilah kontrak atau perjanjian dapat kita jumpai di dalam
KUHP, bahkan didalam ketentuan hukum tersebut dimuat pula pengertian kontrak
atau perjanjian. Disamping istilah tersebut, kitab undang-undang juga
menggunakan istilah perikatan, perutangan, namun pengertian dari istilah
tersebut tidak diberikan.
Pada pasal 1313 KUHP merumuskan
pengertian perjanjian, adalah : suatu perbuatan satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Namun para ahli hukum mempunyai
pendapat yang berbeda-beda mengenai pengertian perjanjian, Abdulkadir Muhammad
mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau
lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta
kekayaan. Ahli hukum lain mengemukakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang menimbulkan
perikatan berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau
kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Menurut J.Satrio perjanjian dapat
mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu
perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang
dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin,
dll, dan dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada
hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud
oleh buku III kitab undang-undang hukum perdata.
B. Tujuan
Penulisan
Mahasiswa
memahami dan dapat menjelaskan :
Perjanjian Baku
/ Standar yang pasal-pasalnya ditentukan Perjanjian yang diatur didalam BW dan
diluar BW
C. Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan Standar Kontrak ?
2.
Apa
saja Macam-macam Perjanjian ?
3.
Apa
saja Syarat Sahnya Perjanjian ?
4.
Bagaimana
Saat Lahirnya Perjanjian ?
5.
Bagaimana
Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu
Perjanjian
?
BAB
II
PEMBAHASAN
Pengertian Standar Kontrak
Standar
kontrak adalah perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu
secara tertulis berupa formulir – formulir yang digandakan dalam jumlah tidak
terbatas, untuk ditawarkan kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan
kondisi para konsumen (Johannes Gunawan)
Menurut
Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu :
1. Kontrak
standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh
kreditur dan disodorkan kepada debitur.
2. Kontrak
standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya
dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Macam –
Macam Perjanjian
Macam-macam perjanjian obligator ialah sbb;
Macam-macam perjanjian obligator ialah sbb;
1). Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan
perjanjian dengan beban
Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah
suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang
lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2)
KUHPerdata).
Perjanjian dengan beban ialah suatu
perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak
lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
2). Perjanjian sepihak dan
perjanjian timbal balik
Perjanjian sepihak adalah suatu
perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
Perjanjian timbal balik ialah suatu
perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
3). Perjanjian konsensuil, formal
dan, riil
Perjanjian konsensuil ialah
perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang
mengadakan perjanjian tersebut.
Perjanjian formil ialah perjanjian
yang harus dilakukan dengan suatu bentuk teryentu, yaitu dengan cara tertulis.
Perjanjian riil ialah suatu
perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
4). Perjanjian bernama, tidak
bernama dan, campuran
Perjanjian bernama adalah suatu
perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan kententuan-ketentuan
khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA.
Perjanjian tidak bernama ialah
perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
Perjanjian campuran ialah
perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.
Syarat Sah Perjanjian
Berdasar ketentuan hukum yang berlaku Pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila
telah memenuhi empat syarat komulatif (keempat-empatnya harus dipenuhi) yang
terdapat dalam Pasal tersebut, yaitu:
a. Adanya kesepakatan para pihak untuk
mengikatkan diri
Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat
(1) KUHPerdata. Seseorang dikatakan telah memberikan sepakatnya (toestemming),
kalau orang memang menghendaki apa yang disepakati maka sepakat sebenarnya
merupakan pertemuan antara dua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling
mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain.
Kesepakatan dalam hal ini harus timbul tanpa
ada unsur paksaan, intimidasi ataupun penipuan. Berikut ini dasar hukumnya:
1) Pasal
1321 KUHPerdata menyatakan:
“Tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat
ini diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau
penipuan”.
Pasal ini digunakan sebagai dasar hukum dari
batalnya perjanjian karena adanya paksaan, kekhilafan, atau penipuan. Perjanjian
batal dalam KUHPerdata berarti dua hal, yaitu perjanjian batal demi hukum atau
dapat dibatalkan. Dalam hal kesepakatan yang menjadi syarat sahnya perjanjian
dibuat atas suatu paksaan, kekhilafan, atau penipuan, perjanjian menjadi dapat
dibatalkan.
2) Pasal 1322
KUHPerdata menyatakan:
“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu
persetujuan selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang
yang menjadi pokok persetujuan.Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika
kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang
bermaksud membuat suatu persetujuan, kecuali jika pesetujuan itu telah dibuat
terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.”
3) Pasal 1323
KUHPerdata menyatakan:
“Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang
membuat suatu perjanjian merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, juga
apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan
siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat.”
4) Pasal 1328
KUHPerdata menyatakan:
“Penipuan merupakan suatu alasan untuk
pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat, yang dipakai oleh salah satu
pihak adalah sedemikian rupasehingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain
tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut.
Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.”
Pasal ini menyebutkan kata “pembatalan”,
pembatalan yang dimaksudkan adalah perjanjian menjadi dapat dibatalkan, bukan
pembatalan demi hukum.
b. Kecakapan bertindak para pihak untuk membuat
perjanjian
Seseorang adalah cakap apabila ia pada umumnya
berdasarkan ketentuan undang-undang mampu membuat sendiri perjanjian-perjanjian
dengan akibat-akibat hukum yang sempurna. Masalah kewenangan bertindak
orang perorangan dalam hukum, menurut doktrin ilmu hukum yang
berkembang dapat dibedakan ke dalam:
1) Kewenangan untuk
bertindak untuk dan atas namanya sendiri, yang berkaitan dengan kecakapannya
untuk bertindak dalam hukum.
2) Kewenangan untuk bertindak selaku kuasa pihak lain, yang
dalam hal ini tunduk pada
ketentuan yang diatur dalam Bab
XIV KUHPerdata di bawah judul “Pemberian Kuasa”.
3) Kewenangan untuk
bertindak dalam kapasitasnya sebagai wali atau wakil dari pihak lain.
Orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan
hukum meliputi: anak di bawah umur (belum berusia 18 Tahun berdasarkan
ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Perkawinan (UUP) yang berlaku sekarang), Orang
berada di bawah pengampuan (berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata
gelap dan boros).
Syarat sahnya perjanjian yang kedua ini sama
dengan syarat kesepakatan para pihak, termasuk dalam syarat subjektif. Tidak
terpenuhinya syarat kecakapan bertindak ini memiliki akibat yang sama dengan
tidak terpenuhinya syarat kesepakatan dari para pihak, yang berarti berakibat
perjanjian menjadi dapat dibatalkan.
c. Ada suatu hal tertentu (objek
perjanjian)
Rumusan Pasal 1320 ayat (3) KUHPerdata
menyebutkan untuk sahnya perjanjian memerlukan syarat, “suatu hal tertentu”.
Riduan Syahrani memberikan keterangan mengenai
syarat ini sebagai berikut:
Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah
barang yang menjadi objek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata
barang yang menjadi objek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya
harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan
saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan. Selanjutnya, dalam Pasal
1334 ayat (1) KUHPerdata ditentukan bahwa barang-barang yang baru akan ada
kemudian hari juga dapat menjadi objek suatu perjanjian.
Suatu hal tertentu yang dimaksud adalah harus
ada objek perjanjian yang jelas. Objek yang diatur dalam perjanjian harus jelas
terperinci atau setidaknya dapat dipastikan. Jika objek itu berupa suatu
barang, maka barang itu setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya. Objek
perjanjian yang jelas dapat memberikan jaminan kepada para pihak yang membuat
perjanjian dan mencegah perjanjian yang fiktif.
Selain objeknya harus jelas, suatu hal
tertentu di sini harus pula:
1) Benda yang menjadi objek perjanjian
harus benda yang dapat diperdagangkan;
2) Barang-barang yang dipergunakan untuk
kepentingan umum antara lain seperti jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung
umum dan sebagainya tidak dapat dijadikan objek perjanjian;
3) Dapat berupa barang
yang sekarang ada atau yang nanti akan ada.
Syarat ini termasuk dalam kategori syarat
objektif. Tidak terpenuhinya syarat objektif ini mengakibatkan perjanjian
menjadi batal demi hukum.
d. Adanya suatu sebab yang halal
Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, suatu sebab
yang diperbolehkan atau halal berarti kesepakatan yang tertuang dalam suatu
perjanjian:
1) tidak boleh
bertentangan dengan perundang-undangan;
2) tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum;
3) tidak boleh
bertentangan dengan kesusilaan.
Yang dimaksud dengan kausa bukanlah hubungan
sebab akibat, sehingga pengertian kausa di sini tidak mempunyai hubungan sama
sekali dengan ajaran kausaliteit.
Berikut ini adalah ketentuan hukum dalam
KUHPerdata yang mengatur mengenai sebab yang halal:
1) Pasal 1335
KUHPerdata menyatakan:
“Suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang
telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai
kekuatan hukum”
Tidak mempunyai kekuatan hukum karena jika
perjanjian dibuat tanpa tujuan yang jelas, tidak mungkin dapat dilindungi oleh
hukum. Agar memiliki kekuatan hukum, perjanjian haruslah memiliki tujuan yang
jelas, sehingga dapat ditentukan tujuan tersebut sudah sesuai dengan aturan
perundang-undangan, kesusilaan, agama, atau tidak.
2) Pasal 1336
KUHPerdata menyatakan:
“Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada
satu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab yang lain yang daripada
yang dinyatakan itu, perjanjiannya adalah sah.”
3) Pasal 1337 KUHPerdata
menyatakan:
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila
terlarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau
ketertiban umum.”
Saat
Lahirnya Perjanjian
Menetapkan kapan saat lahirnya
perjanjian mempunyai arti penting bagi :
a) kesempatan penarikan kembali
penawaran;
b) penentuan resiko;
c) saat mulai dihitungnya jangka
waktu kadaluwarsa;
d) menentukan tempat terjadinya
perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat
(1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa
perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak
pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang diatur
dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah
pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam
kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya/kesepakatannya
(toestemming), jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan
pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende
wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan
tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi
(acceptatie).
Jadi pertemuan kehendak dari pihak
yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut
sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.
Ada beberapa teori yang bisa
digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
a. Teori Pernyataan (Uitings
Theorie)
Menurut teori ini, kontrak telah
ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban
penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan
penerimaan/akseptasinya.
b. Teori Pengiriman (Verzending Theori).
Menurut teori ini saat pengiriman
jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai
sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.
c. Teori Pengetahuan
(Vernemingstheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya
kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang
menawarkan.
d. Teori penerimaan
(Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya
kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut
dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut
sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat
lahirnya kontrak.
Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Pengaturan
mengenai pelaksanaan kontrak dalam KUHP menjadi bagian dari pengaturan tentang
akibat suatu perjanjian, yaitu diatur dalam pasal 1338 sampai dengan pasal 1341
KUHP. Pada umumnya dikatakan bahwa yang mempunyai tugas untuk melaksanakan
kontrak adalah mereka yang menjadi subjek dalam kontrak itu. Salah satu pasal
yang berhubungan langsung dengan pelaksanaannya ialah pasal 1338 ayat 3 yang
berbunyi ”suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan etiket baik.” Dari pasal
tersebut terkesan bahwa untuk melaksanakan kontrak harus mengindahkan etiket
baik saja, dan asas etiket baik terkesan hanya terletak pada fase atau
berkaitan dengan pelaksanaan kontrak, tidak ada fase-fase lainnya dalam proses
pembentukan kontrak.
Hal-hal
yang mengikat dalam kaitan dengan pelaksanaan kontrak ialah :
a. Segala
sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan
undang-undang.
b. Hal-hal
yang menurut kebiasaan sesuatu yang diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu
pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.
c. Bila
suatu hal tidak diatur oleh/dalam undang-undang dan belum juga dalam kebiasaan
karena kemungkinan belum ada, tidak begitu banyak dihadapi dalam praktek, maka
harus diciptakan penyelesaiannya menurut/dengan berpedoman pada kepatutan.
Pelaksanaan
kontrak harus sesuai dengan asas kepatutan, pemberlakuan asas tersebut dalam
suatu kontrak mengandung dua fungsi, yaitu :
a. Fungsi
melarang, artinya bahwa suatu kontrak yang bertentangan dengan asas kepatutan
itu dilarang atau tidak dapat dibenarkan, contoh : dilarang membuat kontrak
pinjam-meminjam uang dengan bunga yang amat tinggi, bunga yang amat tinggi
tersebut bertentangan dengan asas kepatutan.
b. Fungsi
menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan atau dilaksanakan dengan
asas kepatutan. Dalam hal ini kedudukan asas kepatutan adalah untuk mengisi
kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak yang tanpa isian tersebut, maka
tujuan dibuatnya kontrak tidak akan tercapai.
Pembatalan perjanjian
Pembelokan
pelaksanaan kontrak sehingga menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh
kesalahan salah satu pihak konstruksi tersebut dikenal dengan sebutan
wanprestasi atau ingkar janji. Wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya
prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak
terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak.
Ada
tiga bentuk ingkar janji, yaitu :
·
Tidak memenuhi prestasi sama sekali
·
Terlambat memenuhi prestasi, dan
·
Memenuhi prestasi secara tidak sah
Akibat
munculnya wanprestasi ialah timbulnya hak pada pihak yang dirugikan untuk
menuntut penggantian kerugian yang dideritanya terhadap pihak yang wanprestasi.
Pihak yang wansprestasi memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada
pihak yang menderita kerugian. Tuntutan pihak yang dirugikan terhadap pihak
yang menyebabkan kerugian berupa :
·
Pemenuhan perikatan
·
Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi
·
Ganti rugi
·
Pembatalan persetujuan timbale balik,
atau
·
Pembatalan dengan ganti rugi
BAB
III
PENUTUP
Perjanjian atau kontrak adalah
suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak berjanji kepada
seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Pasal 1313 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata Indonesia). Oleh karenanya,
perjanjian itu berlaku sebagai suatu undang-undang bagi
pihak yang saling mengikatkan diri, serta mengakibatkan timbulnya suatu
hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan.
Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau dua pihak yang
membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangakaian perkataan
yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
DAFTAR PUSTAKA
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/hukum-perjanjian-3/
http://radityowisnu.blogspot.com/2012/11/syarat-sah-perjanjian.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar