Selasa, 22 April 2014

ASPEK DALAM HUKUM EKONOMI

NAMA : INDINA TARZIAH
KELAS :2EB24
NPM :23212683

HUKUM PERJANJIAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

            Istilah kontrak atau perjanjian dapat kita jumpai di dalam KUHP, bahkan didalam ketentuan hukum tersebut dimuat pula pengertian kontrak atau perjanjian. Disamping istilah tersebut, kitab undang-undang juga menggunakan istilah perikatan, perutangan, namun pengertian dari istilah tersebut tidak diberikan.
Pada pasal 1313 KUHP merumuskan pengertian perjanjian, adalah : suatu perbuatan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Namun para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai pengertian perjanjian, Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. Ahli hukum lain mengemukakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang menimbulkan perikatan berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Menurut J.Satrio perjanjian dapat mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dll, dan dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh buku III kitab undang-undang hukum perdata.

B.     Tujuan Penulisan

Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan :
Perjanjian Baku / Standar yang pasal-pasalnya ditentukan Perjanjian yang diatur didalam BW dan diluar BW

C.     Rumusan Masalah

1.                  Apa yang dimaksud dengan Standar Kontrak ?
2.                  Apa saja Macam-macam Perjanjian ?
3.                  Apa saja Syarat Sahnya Perjanjian ?
4.                  Bagaimana Saat Lahirnya Perjanjian ?
5.                  Bagaimana Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian ?

BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Standar Kontrak
Standar kontrak adalah  perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir – formulir yang digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen (Johannes Gunawan)
Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu :
1. Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.
2.  Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Macam – Macam Perjanjian
Macam-macam perjanjian obligator ialah sbb;
1). Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban
Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
2). Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
3). Perjanjian konsensuil, formal dan, riil
Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk teryentu, yaitu dengan cara tertulis.
Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
4). Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran
Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA.
Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.

Syarat Sah Perjanjian
Berdasar ketentuan hukum yang berlaku Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi empat syarat komulatif (keempat-empatnya harus dipenuhi) yang terdapat dalam Pasal tersebut, yaitu:
a.    Adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri
Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Seseorang dikatakan telah memberikan sepakatnya (toestemming), kalau orang memang menghendaki apa yang disepakati maka sepakat sebenarnya merupakan pertemuan antara dua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain.

Kesepakatan dalam hal ini harus timbul tanpa ada unsur paksaan, intimidasi ataupun penipuan. Berikut ini dasar hukumnya:
      1)    Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan:
“Tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat ini diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Pasal ini digunakan sebagai dasar hukum dari batalnya perjanjian karena adanya paksaan, kekhilafan, atau penipuan. Perjanjian batal dalam KUHPerdata berarti dua hal, yaitu perjanjian batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Dalam hal kesepakatan yang menjadi syarat sahnya perjanjian dibuat atas suatu paksaan, kekhilafan, atau penipuan, perjanjian menjadi dapat dibatalkan.
2)    Pasal 1322 KUHPerdata menyatakan:
“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan.Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu persetujuan, kecuali jika pesetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.”

3)    Pasal 1323 KUHPerdata menyatakan:
“Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat.”

4)    Pasal 1328 KUHPerdata menyatakan:

“Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat, yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupasehingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.”

Pasal ini menyebutkan kata “pembatalan”, pembatalan yang dimaksudkan adalah perjanjian menjadi dapat dibatalkan, bukan pembatalan demi hukum.

b.    Kecakapan bertindak para pihak untuk membuat perjanjian
Seseorang adalah cakap apabila ia pada umumnya berdasarkan ketentuan undang-undang mampu membuat sendiri perjanjian-perjanjian dengan akibat-akibat hukum yang sempurna. Masalah kewenangan bertindak orang perorangan dalam hukum, menurut doktrin ilmu hukum yang berkembang  dapat dibedakan ke dalam:
1)    Kewenangan untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, yang berkaitan dengan kecakapannya untuk bertindak  dalam hukum.
2)    Kewenangan  untuk  bertindak  selaku  kuasa  pihak  lain,  yang dalam hal  ini  tunduk  pada  
      ketentuan  yang  diatur  dalam  Bab XIV KUHPerdata  di bawah  judul “Pemberian Kuasa”.
3)    Kewenangan untuk bertindak dalam kapasitasnya sebagai wali atau wakil dari pihak lain.
Orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum meliputi: anak di bawah umur (belum berusia 18 Tahun berdasarkan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Perkawinan (UUP) yang berlaku sekarang), Orang berada di bawah pengampuan (berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap dan boros).
Syarat sahnya perjanjian yang kedua ini sama dengan syarat kesepakatan para pihak, termasuk dalam syarat subjektif. Tidak terpenuhinya syarat kecakapan bertindak ini memiliki akibat yang sama dengan tidak terpenuhinya syarat kesepakatan dari para pihak, yang berarti berakibat perjanjian menjadi dapat dibatalkan.


c.    Ada suatu hal tertentu (objek perjanjian)
Rumusan Pasal 1320 ayat (3) KUHPerdata menyebutkan untuk sahnya perjanjian memerlukan syarat, “suatu hal tertentu”.
Riduan Syahrani memberikan keterangan mengenai syarat ini sebagai berikut:
Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi objek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata barang yang menjadi objek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan. Selanjutnya, dalam Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata ditentukan bahwa barang-barang yang baru akan ada kemudian hari juga dapat menjadi objek suatu perjanjian.

Suatu hal tertentu yang dimaksud adalah harus ada objek perjanjian yang jelas. Objek yang diatur dalam perjanjian harus jelas terperinci atau setidaknya dapat dipastikan. Jika objek itu berupa suatu barang, maka barang itu setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya. Objek perjanjian yang jelas dapat memberikan jaminan kepada para pihak yang membuat perjanjian dan mencegah perjanjian yang fiktif.
Selain objeknya harus jelas, suatu hal tertentu di sini harus pula:
1) Benda yang menjadi objek perjanjian harus benda yang dapat diperdagangkan;
2) Barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain seperti jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum dan sebagainya tidak dapat dijadikan objek perjanjian;
3)    Dapat berupa barang yang sekarang ada atau yang nanti akan ada.
Syarat ini termasuk dalam kategori syarat objektif. Tidak terpenuhinya syarat objektif ini mengakibatkan perjanjian menjadi batal demi hukum.

d.    Adanya suatu sebab yang halal
Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, suatu sebab yang diperbolehkan atau halal berarti kesepakatan yang tertuang dalam suatu perjanjian:
1)    tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan;
2)    tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum;
3)    tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan.
Yang dimaksud dengan kausa bukanlah hubungan sebab akibat, sehingga pengertian kausa di sini tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan ajaran kausaliteit.
Berikut ini adalah ketentuan hukum dalam KUHPerdata yang mengatur mengenai sebab yang halal:
1)    Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan:
“Suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum”
Tidak mempunyai kekuatan hukum karena jika perjanjian dibuat tanpa tujuan yang jelas, tidak mungkin dapat dilindungi oleh hukum. Agar memiliki kekuatan hukum, perjanjian haruslah memiliki tujuan yang jelas, sehingga dapat ditentukan tujuan tersebut sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan, kesusilaan, agama, atau tidak. 
2)    Pasal 1336 KUHPerdata menyatakan:
“Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada satu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab yang lain yang daripada yang dinyatakan itu, perjanjiannya adalah sah.”
3)    Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan:
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila terlarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.”

Saat Lahirnya Perjanjian
Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
a) kesempatan penarikan kembali penawaran;
b) penentuan resiko;
c) saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
d) menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).
Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.
Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
a. Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.
b. Teori Pengiriman (Verzending Theori).
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.
c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
d. Teori penerimaan (Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak.
Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Pengaturan mengenai pelaksanaan kontrak dalam KUHP menjadi bagian dari pengaturan tentang akibat suatu perjanjian, yaitu diatur dalam pasal 1338 sampai dengan pasal 1341 KUHP. Pada umumnya dikatakan bahwa yang mempunyai tugas untuk melaksanakan kontrak adalah mereka yang menjadi subjek dalam kontrak itu. Salah satu pasal yang berhubungan langsung dengan pelaksanaannya ialah pasal 1338 ayat 3 yang berbunyi ”suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan etiket baik.” Dari pasal tersebut terkesan bahwa untuk melaksanakan kontrak harus mengindahkan etiket baik saja, dan asas etiket baik terkesan hanya terletak pada fase atau berkaitan dengan pelaksanaan kontrak, tidak ada fase-fase lainnya dalam proses pembentukan kontrak.

Hal-hal yang mengikat dalam kaitan dengan pelaksanaan kontrak ialah :
a.       Segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
b.      Hal-hal yang menurut kebiasaan sesuatu yang diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.
c.       Bila suatu hal tidak diatur oleh/dalam undang-undang dan belum juga dalam kebiasaan karena kemungkinan belum ada, tidak begitu banyak dihadapi dalam praktek, maka harus diciptakan penyelesaiannya menurut/dengan berpedoman pada kepatutan.
Pelaksanaan kontrak harus sesuai dengan asas kepatutan, pemberlakuan asas tersebut dalam suatu kontrak mengandung dua fungsi, yaitu :
a.       Fungsi melarang, artinya bahwa suatu kontrak yang bertentangan dengan asas kepatutan itu dilarang atau tidak dapat dibenarkan, contoh : dilarang membuat kontrak pinjam-meminjam uang dengan bunga yang amat tinggi, bunga yang amat tinggi tersebut bertentangan dengan asas kepatutan.
b.      Fungsi menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan atau dilaksanakan dengan asas kepatutan. Dalam hal ini kedudukan asas kepatutan adalah untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak yang tanpa isian tersebut, maka tujuan dibuatnya kontrak tidak akan tercapai.
Pembatalan perjanjian
Pembelokan pelaksanaan kontrak sehingga menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh kesalahan salah satu pihak konstruksi tersebut dikenal dengan sebutan wanprestasi atau ingkar janji. Wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak.
Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu :
·         Tidak memenuhi prestasi sama sekali
·         Terlambat memenuhi prestasi, dan
·         Memenuhi prestasi secara tidak sah
Akibat munculnya wanprestasi ialah timbulnya hak pada pihak yang dirugikan untuk menuntut penggantian kerugian yang dideritanya terhadap pihak yang wanprestasi. Pihak yang wansprestasi memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian. Tuntutan pihak yang dirugikan terhadap pihak yang menyebabkan kerugian berupa :
·         Pemenuhan perikatan
·         Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi
·         Ganti rugi
·         Pembatalan persetujuan timbale balik, atau
·         Pembatalan dengan ganti rugi


BAB III
PENUTUP

Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia). Oleh karenanya, perjanjian itu berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang saling mengikatkan diri, serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau dua pihak yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangakaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.


DAFTAR PUSTAKA

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/hukum-perjanjian-3/

http://radityowisnu.blogspot.com/2012/11/syarat-sah-perjanjian.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar